PENGAMALAN HADITS DHA’IF MENURUT ULAMA

Oleh: Afriya

DAFTAR ISI

BAB I             PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
  2. Tujuan Penulis
  3. Kegunaan Penulisan

BAB II            PENGENALAN HADITS DHA’IF

  1. Pengertian Hadits Dha’if
  2. Sebab-Sebab Hadits Menjadi Dha’if
  3. Perbedaan Dha’if Sebelum Imam Turmudzi Dan Sesudahnya
  4. Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if

BAB III          PENDAPAT ULAMA TENTANG PENGAMALAN HADITS DHA’IF

  1. Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak
  2. Hadits Dha’if Diamalkan Dengan Syarat Tertentu
  3. Hadits Dha’if Hanya Diamalkan Dalam Fadho’il Amal Dengan Syarat Tertentu.

BAB IV          PENUTUP

  1. Kesimpulan
  2. Saran

BAB I

PENDAHULUAN

  1. 1. Latar Belakang Masalah

Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Kitabulloh, Al-Qur’an. Posisi penting ini didudukinya tak lain karena fungsinya sebagai penjelas, perinci, dan petunjuk penerapan Al-Qur’an dan  kehidupan sehari-hari. Ibarat dua saudara kandung, Al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisah-pisahkan. Bahkan keduanya mempunyai keterkaitan yang erat satu sama lainnya. Karena itu, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa pengamalan hadits merupakan bentuk kethoatan kepada Allah ta’ala.

Sebelum merealisasikan bentuk kethoatan kepada Allah yang satu ini, setiap muslim perlu mengenali terlebih dahulu derajat suatu hadits. Secara global hadits dibagi menjadi dua, shohih dan dha’if. Jika suatu hadits shohih, maka tidak dipermasalahkan dalam hal pengamalannya, namun yang menjadi masalah disini adalah bagaimana bila hadits itu dha’if? Apakah bisa diamalkan seperti halnya shohih? Apa pendapat ulama dalam menyikapi hal ini?

Karena hal-hal itulah, penulis tertulis untuk mengadakan kajian seputar hadits dha’if sekaligus mencari dengan seksama pendapat ulama tentang pengamalan hadits dha’if. Kajian ini penulis wujudkan dalam bentuk tulisan ilmiah berjudul ”PENGAMALAN HADITS DHA’IF MENURUT ULAMA”.

  1. 2. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk :

Menerangkan beberapa hal yang berkaitan dengan hadits dha’if.

Menjelaskan pendapat ulama tentang pengamalan hadits dha’if.

  1. 3. Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan penulisan ini :

Bagi penulis sendiri, untuk latihan menulis karya ilmiah

Bagi umum, untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hadits.

BAB II

PENGENALAN HADITS DHA’IF

  1. 1. Pengertian Hadits Dlo’if

Para ulama bersepakat bahwa hadits diistilah untuk setiap perkataan, perbuatan, atau pembenaran yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. hadits juga bisa disebut dengan khabar (berita) atau atsar (sisa sesuatu)[1]. Hadits ada tiga macam yaitu: shohih, hasan dan dha’if. Berdasarkan judul bab, maka pembahasan ini terbatas pada hadits dha’if saja.

Kata الضغيف berasal dari الضعف yang berarti ”lemah” الضعف ada 2 macam (menurut bahasa), hissiy (حسّيّ) yakni bersifat konkret atau dapat dijangkau oleh panca indra dan maknawi cabstrak, adapun   الضعف dalam hadits termasuk jenis maknawi[2].

Menurut istilah, yang dimaksud hadits dha’if adalah hadits yang belum mengumpulkan sifat-sifat hadits shohih dan tidak pula sifat-sifat hadits hasan. Sifat-sifat hadits hasan dan shohih adalah : sanadnya bersambung, perawinya adil dan kuat hafalannya, tidak menyelisihi hadits yang lebih kuat, dan tidak bercatat[3]. Hadits dha’if menempati posisi terendah dari macam-macam hadits.

  1. 2. Sebab-sebab Hadits Menjadi Dha’if

Ada banyak sebab yang menjadi suatu hadits dihukumi dha’if (lemah), namun semuanya itu kembali kepada salah satu dari dua sebab pokok, yaitu:

  1. Terputusnya silsilah perawi hadits, dan
  2. Tercelanya perawi dari segi hafalan, kuatnya ingatan agama, kejujuran, atau kewaspadaannya[4].

Karena dua sebab yang pokok ini, A. Qodir Hasan mendevinisikan hadits dha’if dengan ”hadits yang terputus sanadnya atau diantara rawinya ada yang bercatat atau tercela[5].

  1. 3. Perbedaan Dha’if Sebelum Imam Turmudzi dan Sesudahnya

Perbedaan keduanya terletak pada ta’rif.

Sebelum ini, telah dijelaskan bahwa hadits dha’if adalah hadits yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hasan. Ta’rif ini belum dikenal sebelum datangnya Imam Turmudzi.

Pada zaman ulama sebelum Turmudzi, hadits hanya dibagi menjadi dua macam: shahih dan dha’if. Ketika itu ulama bersikap ekstrim dalam menghukumi hadits. Setiap hadits yang kurang memenuhi syarat hadits shahih, mereka anggap sebagai hadits dha’if. Namun begitu ternyata mereka masih membagi dha’if menjadi dua jenis; pertama hadits dha’if yang boleh diamalkan, dan kedua, hadits dha’if yang mesti ditinggalkan (hadits ini dikatakan pula sebagai wahiy)[6].

Setelah berapa lama kemudian, muncullah Imam Turmudzi yang mempopulerkan istilah hasan melalui kitab beliau yaitu …. sifat hasan inilah yang serupa dengan sifat hadits dha’if yang boleh diamalkan menurut ulama sebelum beliau. Sejak saat itu, hadits terbagi menjadi 3 macam, shahih, hasan, dan dha’if.

Dan setelah itu juga devinisi dha’if berubah sebagaimana yang telah kita ketahui. Hadits hasan dan shahih diamalkan dan dijadikan hujjah, sedangkan hadits dha’if masih diperselisihkan meski asal hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah.

  1. 4. Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if

Pada hakikatnya, hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, namun pada ulama bersepakat membolehkan periwayatan hadits dha’if dan sikap menyepelekan penyebutan kedha’ifannya selagi hadits tersebut tidak sampai derajat maudlu’ (wajib bagi siapapun yang meriwayatkan hadits ini untuk mengabaikan bahwa ia adalah maudlu) dan tidak pula berhubungan dengan aqidah atau hukum syari’ semisal halal , harom, wajib, dll.

Bila kita ingin meriwayatkan hadits dha’if tanpa sanad, kita tidak boleh mengatakan. Rosululloh saw telah berkata begini … tapi kita katakan : Diriwayatkan dari Rosululloh begini (dengan kalimat pasif), atau lafadz lain yang serupa, supaya kita tidak dianggap memastikan penisbatannya kepada Rosululloh sedangkan kita mengetahui kedha’ifannya[7] [8].

BAB III

PENDAPAT ULAMA TENTANG PENGAMALAN HADITS DHA’IF

  1. 1. Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak

Sebagian ulama tidak membolehkan pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum syari’, aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati. Mereka adalah Imam Yahya bin Main, Abu Bakr iburul Arabi, Bukhori, Muslim[9], Asy Syihab Al Khofaji dan Al Jalal Ad Diwani[10].

Dalam pembahasan ini, tidak satupun kitab yang mencantumkan penjelasan Imam Bukhori dan Muslim yang melarang pengamalan hadits dha’if. Para ulama menyimpulkan kecenderungan kedua kepada pendapat ini setelah melihat kitab shahih mereka yang seluruh haditsnya shahih. Imam Muslim sendiri sangat mencela perowi yang sengaja menebarkan hadits dha’if, terlebih kepada para awam. Beliau mewajibkan periwayatan dari para tsiqot yang terkenal kejujuran dan amanahnya, sehingga rowi berhati-hati dari riwayat ahli bid’ah dan tidak meriwayatkan kecuali shohih saja. Imam Muslim sangat berpegang teguh dengan hadits:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ      [11]

Barang siapa menceritakan suatu hadits tentangku yang ia anggap bahwa (hadits) itu suatu kedustaan maka ia termasuk salah satu dari pada pendusta.

Al-Qosimi menukilkan penuturan Ibnu Hazm dari kitab Al-Milawan Nihal sebagai berikut :

مَا نَقَلَهُ أَهْلُ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ أَوْ كَافَّةٌ عَنْ كَافَّةٍ أَوْ ثِقَةٌ عَنْ ثِقَةٍ حَتَّى يَبْلُغََ اِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم : إِلاَّ أَنَّ فِى الطَّرِيْقِ رَجُلاً مَجْرُوْحًا بِكِذْبٍ اَوْ غَفْلَةٍ اَوْ مَجْهُوْلِ الحَالِ. فَهَذَا يَقُوْلُ بِهِ بَعْضُ المُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَحِلُّ عِنْدَنَا القَوْلُ بِهِ وَلاَ تَصْدِيْقُهُ وَلاَ الأَخْذُ بِشَيْئٍ مِنْهُ  [12]

”Apa-apa yang dinukil oleh penduduk timur dan barat atau keseluruhan mereka, atau seorang tsiqot dari tsiqot yang lain hingga sampai (berakhir) pada Nabi saw. Kecuali jika dalam sanadnya (ada) seorang rowi yang tercatat karena kedustaan, kelalaian, atau tidak diketahui keadaanya. Maka ini dinyatakan oleh sebagain muslimin (kebolehan pengamalan), sedangkan menurut kami tidak halal pernyataan dengannya (hadits yang dinukil). Pembenahannya, dan tidak pula pengambilan sedikitpun darinya.”

Maksudnya ; Ibnu Hazm menyatakan bahwa sebagian muslimin membolehkan pengamalan hadits yang dinukil oleh seluruh rowi atau seorang tsiqot dan seterus hingga berakhir pada Nabi, selagi hadits itu tidak terdapat rowi pendusta, lalai, atau tidak diketahui keadaannya. Menurut beliau, bila memang hadits itu dha’if maka tidak boleh diamalkan secara mutlak.

  1. 2. Hadits Dha’if Diamalkan dengan Syarat Tertentu

Diantara ulama ada yang membolehkan secara mutlak, maksudnya tidak ada batasan pada hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’, dadkoil amal, dsb. Semuanya boleh, dengan syarat : tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu bab kecuali hadits dha’if tersebut dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya. Pendapat ini disandarkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad karena kedua imam tersebut mengatakan bahwa hadits dha’if lebih baik dari pada pendapat ulama[13].

Berkaitan dengan pernyataan bahwa hadits dha’if lebih kuat dari pada pendapat ulama, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadits yang dimaksud adalah hadits hasan, mereka menyebutkan hadits dha’if karena pada zaman itu belum dikenal istilah hasan, sehingga beliau, yang kebetulan setuju dengan pendapat itu, dan ulama lainnya tidak bisa dikatakan bahwa mereka (para ulama termasuk Ibnu Taimiyah) membolehkan pengamalan hadits dha’if [14]. Begitulah penjelasan Imam Ibnu Taimiyah tentang maksud hadits dha’if yang boleh diamalkan dan lebih baik dari pada pendapat ulama.

Imam As Suyuthi berpendapat bahwa hadits dha’if juga diamalkan dalam masalah hukum untuk sekedar berhati-hati[15].

  1. 3. Hadits Dha’if Hanya Diamalkan dalam Fadhoil Amal dengan Syarat Tertentu

Imam An Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitani menukilkan kesepakatan jumhur ulama dan fuqoha atas pendapat yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil amal. Pendapat itulah yang dijadikan pedoman bagi para imam, termasuk mereka: Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad[16], Abu Zakariya, dan Ibnu Mahdi.

Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi berikut:

اِذَا رَاوَيْنَا فِى الحَلاَلِ وَالحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِى الفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا  [17]

Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan jika kami meriwayatkan (hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah[18].

Meskipun begitu, pembolehan dalam hal ini tidak berlaku secara mutlak, masih ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh ibnu Hajar, ketentuan-ketentuan itu adalah:

  1. Hadits tersebut tidak terlalu dha’if. Yang termasuk sangat dha’if adalah mungkar, matruk, dan maudlu’
  2. Amalan yang ada dalam hadits itu berasaskan suatu hadits maqbul
  3. Tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, bahkan hanya diniatkan untuk sekedar berhati-hati[19].[20]

Dalam kitab Qowaidut Tahdits, Imam Hakim menuturkan pendapat Abu Zakariya Al Anbari; beliau mengatakan:

سَمِعْتُ اَبَا زَكَرِيَّا العَنْبَرِى يَقُوْلُ : الخَبَرُ وَرَدَ لَمْ يُحَرِّمْ حَلاَلاً وَلَمْ يُحِلَّ حَرَامًا وَلَمْ يُوْجِبْ حُكْمًا وَكَانَ فِى تَرْغِيْبٍ اَوْ تَرْهِيْبٍ أُغْمِِضَ عَنْهُ وَتُسُوْهِلَ فِى رُوَاتِهِ  [21]

Aku mendengar Abu Zakariya Al Anbari menyatakatan: khabar yang datanya tidak mengharamkan yang halal, tidak menghalalkan yang hara, tidak mewajibkan suatu hukum dan pula keberadaannya itu dalam hal targhib (penyemangatan) atau tarhib (intimidasi), dibiarkan dan dimaafkan (cacat) para rawinya.

BAB IV

PENUTUP

  1. 1. Kesimpulan

Pendapat ulama dalam hal pengamalan hadits dha’if terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Hadits Dha’if hanya diamalkan dalam fadloil amal

(ini adalah pendapat jumhur Ulama, termasuk mereka: Imam An-Nawawi, Syaikh Al-Qori, Ibnu Hajar, Imam Ahmad dan Imam Al-Luknawi).

  1. Hadits Dha’if secara mutlak tidak boleh diamalkan

(ini pendapat Imam Yahya bin Main, Bukhori, Muslim, Ibnu Hazm, Abu Bakr, Al-Khofaji, dan Ad-Diwani).

  1. Hadits Dha’if secara mutlak diamalkan dengan syarat tertentu

(Pendapat ini disandarkan kepada Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad).

  1. 2. Saran

Disarankan bagi pembaca untuk mengadakan penelitian Ilmiah lebih lanjut guna mengetahui pendapat ulama yang paling mendekati kebenaran perihal pengamalan hadits dha’if.


[1] Mahmud Ath Thahhan, Tafsir Mushtholah Hadits, hlm 14-15

[2] Mahmud Ath Thahhan, Tafsir Mushtholah Hadits, hlm 52

[3] Hasyim, Mabahits fil Haditsisy Syarif, hlm. 21

[4] Mahmud Ath Thahhan, Tafsir Mushtholah Hadits, hlm 52

[5] A. Qodir Hasan, Ilmu Mushtholah Hadits, hlm. 91

[6] Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 103

[7] Mahmud Ath Thahhan, Tafsir Mushtholah Hadits, hlm 54

[8] Suatu hadits dikatakan dha’if karena lemahnya persangkaan bahwa hadits itu datang dari Rosul saw, karena itulah kita tidak meriwayatkan hadits dha’if dengan lafadz قال رسول الله كذا .. ., karena dengan lafadz itu akan difaham bahwa kita memastikan dugaan kuat tentang datangnya hadits dari Rosululloh. Padahal kita mengetahui kelemahan persangkaan tentangnya.

[9] Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113

[10] Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3

[11] Muslim, Shahih Muslim bisyarhin Nawawi, hlm. 9

[12] Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113

[13] Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3

[14] Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 118

[15] Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 116

[16] Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3

[17] Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 1

[18] Abdul Khaliq, Hakmu Qubulil Haditsdh Dhoif fi Fadhoilil ‘Amal, hlm 3

[19] Maksud bermudah-mudahan adalah sikap tidak begitu memperdulikan atau meremehkan cela rowi dalam sanadnya.

[20] Berhati-hati (احتاط) maksudnya : berjaga-jaga bila ternyata hadits tersebut benar dari rosul saw maka ia telah menunaikan haknya (hak hadits untuk diamalkan) atau jika ternyata tidak benar, maka tidak ada dosa bagi yang mengamalkan.

[21] Al-Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 114

Satu tanggapan untuk “PENGAMALAN HADITS DHA’IF MENURUT ULAMA

Tinggalkan komentar